Minggu, 20 April 2014

Karena Galau, R.A Kartini Justru Jadi Inpirasi


Jika anda merupakan “angkatan” terakhir saat ini, pasti mengenal apa itu istilah gaul “ galau”. 
Galau kalau mau buka-buka kamus besar Bahasa Indonesia bisa diartikan dengan perasaan yang tidak menentu, tidak tenang, cemas, gundah gulana. 
Kalau generasi gaul sebelumnya menyebutnya “ tidak mood”. 

Itulah sebabnya, istilah galau seringnya ditafsirkan sebagai hal yang cenderung mengarah negatif. 
Tidak ada manfaatnya. 
Makanya banyak sekali yang memberikan tips dan trik untuk mengatasi rasa galau ini. 
Dan yang ini salah satunya : Tips sederhana mengatasi rasa galau anda

Tapi seharusnya jangan salah, jika galau ini selalu berkonotasi dan mengarah yang negatif. 
Sebab ternyata ada “galau” yang amat sangat positif. 
Bahkan begitu positipnya “rasa galau” ini menginspirasi jutaan orang manusia – terutama kaum wanita – 

*** 

Setiap tanggal 21 April seluruh rakyat Indonesia memperingatinya sebagai Hari Kartini. Dan tanggal 21 April 2014, senin besok ini merupakan peringatan yang ke 135 tahunnya. 
Bagi yang masih sekolah peringatan hari Kartini selalu dilakukan dengan upacara bendera dan pelajar putri diharuskan mengenakan pakaian tradisional daerahnya, biasanya berupa kebaya

Anda semua pasti tahu mengapa tanggal 21 april ini diperingati sebagai hari Kartini
Dan pasti tahu juga tentang catatan sejarah dan riwayat Kartini.Jadi tidak perlu dibahas lagi. 
Tapi mungkin, tidak semua dari anda tahu mengapa dan bagaimana Kartini dianggap sebagai tokoh yang menginspirasi. 

Dengan tidak mengecilkan arti dari usaha dan perjuangan yang telah dilakukan Raden Ajeng Kartini ratusan tahun yang lalu – jika mau jujur – RA. Kartini sebenarnya “belum melakukan apa-apa” untuk rakyat Indonesia ( Dengan catatan : suatu tindakan yang riil dan nyata ). 
Bila dibandingkan dengan tokoh pejuang dan pahlawan Indonesia yang dikenal lainnya, macam Cut Nya’ Dien yang harus bermandikan keringat dan air mata, berdarah-darah melawan Belanda. Christina Martha Tiahahu yang di usia mudanya harus dengan “sengan hati” mengangkat parang ataupun Dewi Sartika yang merintis dan telah melakukan tindakan nyata mendidik anak-anak Indonesia. Dan masih banyak yang lainnya. 

( Itulah sebabnya, mengapa saat ini ada beberapa orang yang “mempertanyakan” tentang peran dan kepahlawanan Kartini. Dan banyak pula yang menganggapnya sebagai kontroversi. 
Sebab – memang patut menjadi tanda tanya – yang getol dan gatal “mempromosikan” Kartini justru orang-orang Belanda. Hindia Belanda waktu itu dan Holland saat ini. 
Bahkan di Belanda konon ada jalan yang bernama Jalan Kartini. Dan sampai saat ini pula di Belanda ada sebuah penghargaan semacam “Kartini Awards”. 
Bahkan ada yang beranggapan bahwa perjuangan Kartini sejatinya “ditumpangi” oleh kepentingan kapitalisme Belanda dan atau kepentingan yang lebih besar lainnya . 
Topik tentang masalah ini – yang penuh kontroversi – insya Allah akan dibahas pada posting mendatang. Jadi ikuti terus ya….). 

Jika merunut sejarah dengan membaca surat-surat Kartini yang masih tersisa dan dapat dibaca - layaknya anda para gadis remaja – waktu itu Kartini adalah seorang gadis ibu muda yang boleh dikata dalam masa panca roba mencari jati dirinya. 
( RA Kartini menikah di usia belasan tahun, lahir pada 21 April 1879 dan meninggal di usia 25 tahun pada tahun 1904). 
Dan laiknya gadis muda pada masa panca roba, Kartini juga dilanda gejolak hebat dalam hatinya. 
Tentang bagiamana harus menemukan jati diri dan jalan sejati kehidupannya. Serta rasa galau melihat kondisi masyarakat ( wanita ) di lingkungannya. 

Hanya saja karena saat itu memang belum ada semacam kecanduan Facebook atau Twitter, Kartini mengungkapkan rasa galaunya melalui berkorespondensi ( surat menyurat ) dengan warga Belanda. 

Dan rasa galau Kartini ini pulalah yang pada akhirnya dianggap sebagai motivasi dan inspirasi bagi kaum wanita setelah ( justru ) warga Belanda, J.H.Abendanon menerbitkannya menjadi sebuah buku : “Door Duisternis tot Licth : Gedachten Over en Voor Het Javaansche Volk van Raden Ajeng Kartini “ yang dalam edisi bahasa Indonesia oleh Armin Pane, judulnya diadaptasi menjadi “ Habis Gelap Terbitlah Terang”.( Ini juga kontroversi ) 

Namun jika dirunut lebih lanjut sejarahnya, pada akhirnya ketika Kartini sudah mulai menemukan kesejatian dirinya menjelang akhir hayatnya, yaitu setelah ia berguru kepada seorang ulama dari Semarang. Dan ketika tahap ini telah dicapainya ia “sedikit menyesali” dan mulai mengkoreksi tentang rasa galau ( yang kemudian dianggap sebagai “tuntutan emansipasi” ) yang telah diungkapkan kepada rekan korespondensi Belandanya. 

Kartini bahkan justru mempertanyakan dan “menggugat” paham Ke-Belandaan yang dicoba disusupkan kepadanya. 
Dan harus diakui jika pemikiran Kartini memang “melompat jauh” dari seluruh wanita di jamannya. 

Akhir cerita. 

Jadi ketika anda sedang galau, jangan merasa galau. Sebab siapa tahu rasa galau anda justru bisa bermanfaat bagi sesama. Hanya saja jangan “umbar” rasa galau anda di media. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar